Neoliberalisme: Penyempurnaan Liberalisasi Agraria dan Kematian Sektor Pertanian

1.    Tonggak-tonggak Sejarah Liberalisasi Agraira Nusantara

 

Sejarah penguasaan tanah oleh swasta sebenarnya sudah terjadi sejak zaman Kolonial. Pada taun 1811, kekuasaan Hindia Belanda beralih ke tangan Inggris. Sir Thomas Stanford Raffless yang menjadi Gubernur Jendral pada waktu itu, memperkenalkan “Sistem Sewa Tanah”, dimana tanah yang sebelumnya dikuasai dan milik Raja yang kemudian di Kuasai Inggris dan kedaulatan Inggris diakui oleh raja. Kekuasaan yang beralih kepada Inggris inilah yang menyebabkan para pemakai tanah atau rakyat harus membayar sewa tanah kepada pemerintahan Kerajaan Inggris.

 

Dalam Teori Domein dirumuskan bahwa karena Negara adalah pemilik tanah, maka Negara diberi kebebasan untuk memperlakukan tanah sesuai keperluannya termasuk menjualnya ke orang lain. (Rikardo, 2002 : 111)

Tahun 1830 dengan Diterapkanya Cultuurestelsel

Pada tahun 1830, sistem sewa tanah dihapuskan, hal ini disebabkan kembalinya kekuasaan ketangan Belanda pada tahun 1816. Kemudian Van Den Bosch di angkat menjadi Gubernur Hindia Belanda yang pada tahun 1930 menghidupkan kembali sistem tanam paksa dengan cara yang lebih keras yang dikenal dengan cultuurstelsel. Tujuan dari kebijakan ini adalah menolong negeri Belanda yang dilanda krisis keuangan akibat peperangan yang terjadi antar Negara kolonal. Selain itu, juga industrialisasi yang digalakan di negrei Belanda itu sendiri.

Tahun 1848 Dikeluarkanya Regerings Regelment

Pada tahun 1848 Undang-undang Dasar Belanda mencantumkan ketentuan bahwa pemerintah di negeri jajahan harus diatur dengan undang-undang, hal ini ditandai dengan dikeluarnya Regerings Regelment (RR) 1854. Di dalam pasal 62 RR menyebutkan bahwa Gubernur Jendral boleh menyewakan tanah dengan ketentuan yang akan ditetapkan dengan ordonasi.

Tahun 1970 Diundangkanya Agrarische Wet

Tonggak yang menentukan sejarah perjalanan Agraria di Indonesia yang termasuk bagian dari liberalisasi pertanahan dan merupakan salah satu upaya kolonial dalam penghancuran kakuasaan feodalisme Nusantara  adalah dengan diundangkanya Agrarische Wet tahun 1870, dalam Lembaran Negara (staatsblad) No. 55, 1970. Agararische Wet merupakan dasar yang digunakan dalam peraturan agraria yang juga memuat ketentuan yang melindungi kepentingan perkebunan  di Indonesia yang banyak dimiliki oleh perusahaan swasta Belanda.

 

Namun hak-hak rakyat Indonesia juga dilindungi atas tanah yang dimiliknya hal ini di cantumkan dalam butir-butir diatas. Karena hal itulah kenudian terjadi dualisme dalam pemberlakuan hukum agraria, hal ini dikarenakan  untuk orang asing atau perkebunan swasta berlaku hukum barat, dan bagi rakyat asli atau pribumi di berlakukan hukum adat.

 

Undang-undang Pokok Agraria

Berdirinya Indonesia merupakan bentuk oragnisasi baru sebagai sebuah negara berdaulat. Undang-undang Dasar 1945 merupakan tonggak dasar dalam melakukan perubahan atas pemilikan dan penguasaan Agraria Nasional. Atas dasar itu dilakukan pembaruan sistem hukum dan kepastian atas status tanah-tanah dan aset agraria.

 

Pemerintahan Sukarno memberlakukan Undang-undang Darurat No. 8 Tahun 1948 tentang Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Undang-undang ini menjelaskan sekaligus melegitimasi pendudukan perkebuhnan-perkebunan oleh rakyat. Selain daripada itu Pemerintahan Sukarno Juga membuat peraturan tentang pendudukan tanah oleh rakyat, melalui Undang-undang Darurat N0. 8 tahun 1954, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda yang berada di wilayah Indonesia (UU No. 86/1958).

 

Perkembangan politik agraria di Indonesia pada zaman orde lama lebih bercorak (neo) populisme. Dalam setrategi ini, penguasaan tanah lebih banyak dimiliki oleh kaum tani, disamping itu juga pengerjaan atas tanah juga lebih dikedepankan adalah petani dan keluarganya, yang merupakan tulang punggung negara agraris. Di dalam strategi ini pengakuan atas terdapat pengakuan hak individu atas tanah, namun hak atas tanah tersebut mengandung fungsi sosial.

 

Pemertintahan Ordelama mengeluarkan UU no 5 Tahun 1960 tentang “Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria”, bermaksud melakukan redistribusi tanah, hal itu ditindaklanjuti dengan dikeluarkanya UU Land re Form.

 

Namun belum lagi kebijakan tersebut dinikmati oleh masyarakat petani. Arus balik Penguasaan tanah di Indonesia terjadi. Sejak berkuasanya orde baru maka diteribusi tanah tidak terjadi malam mempertahankan kembali keberadaan perkebunan-perkebunan eks Belanda. Anggapan bahwa gerakan tani merupakan suatu gerakan yang sama dengan Komunisme menjadikan terjadinya kemerosotan sejarah penguasaan Sumber-sumber Agraria termasuk penguasaan tanah di dalamnya.

 

Kebijakan ekonomi yang diambil Orde Baru tidak di dasari oleh penguasaan aset-aset Agraria oleh rakyat. Bahkan Undang-undang penanaman Modal Asing dan beberapa kebijakannya, membuka peluang untuk kembalinya kekuasaan asing atas Aset-aset Agraria. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang terjadi hari ini, atau liberalisasi pasar merupakan lanjutan dari sistem yang dibangun dari pemerintahan kolonial.

 

Sehingga secara umum kondisi petani pada massa Kolonial hingga hari ini tidak berubah. Belum lagi petani mampu merasakan kemerdekaan yang sebenar-benarya merdeka yang meliputi kemerdekaan Ekonomi, politik, social dan budaya, Neo-Liberalisme menjadi system ekonomi yang di anut oleh Penguasa.

Neoliberalisme apa dampaknya terhadap sector Pertanian Kita?

 

2.    Sekilas Neoliberalisme

Globalisasi adalah masalah ekonomi yang terlihat menyederhanakan beragam fenomena sosial yang berserak sebagai akibatnya. de-teritorialisasi merupakan salah satu dampak yang di timbulkannya, sehingga peranan Negara sebagai control astas ekonomi sama sekali di tiadakan. Dengan de-teritorialisasi batas-batas geografis ditiadakan, atau dianggap tidak lagi berperan dan menentukan dalam perdagangan antar negara. Batas peraturan teritorial diantara negara-negara yang mengatur seluk-beluk produksi hilang dan diganti dengan jaringan transaksi global. Bukan lagi negara, atau sistem masyarakat lokal, melainkan organisasi global yang mengatur dan menentukan seluk beluk produksi tersebut. Jadi, kegiatan bisnis yang dulu teritorial-lokal sekarang menjadi de-teritorial global. (Ulrich Beck-2003)

 

Karena, dalam system ekonomi yang lazim di sebut Neo Liberal ini negara sepenuhnya akan menyerahkan ekonominya ke dalam pasar bebas. Negara akan menempatkan sector swasta sebagai penggerak utama perekonomian sehingga secara otomatis peran birokrasi akan dikurangi seminimal mungkin hingga tidak ada sama sekali.

 

Selain itu privatisasi segala bentuk usaha industri barang dan jasa, diperjual-belikan, membuka industri dan pasar modal pada kepemilikan pada investor asing secara langsung. Menghapus segala hambatan investasi luar negeri. Menghapus atau menurunkan segala tarif impor.

 

Namun terjadi ketidakadilan pasar ketika kita melihat secaras jeli pelaksanaan pasar bebas. IMF menekan kita (Indonesia) untuk membebaskan bea masuk beras dan gula sampai nol persen, namun di sisi lain Amerika, beberapa negara Eropa dan Jepang memberlakukan bea masuk yang tinggi  untuk produk-produk pertanian demi melindungi petaninya. Jelas sekali disaat Negara Maju meneriakan tentang pasar bebas, disisi lain dia sangat melindungi Negaranya dari produk-produk impor.

 

Namun pemerintahan kita dibuat tidak berdaya. Justru seolah-oleh kedaulatan pasar merupakan semacam “Dewa” yang akan memberikan kebangkitan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Lalu apakah benar apa yang hari ini di jalankan pemerintahan kita? sejauh mana dampkanya terhadap keberlangsungan kita sebagai Indonesia?

 

Bagaimana bisa nagara kita menjadi importir minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Padahal negara kita adalah salah satu penghasil minyak di dunia. Hampir seluruh Produk-produk pertanian kita dapatkan dari impor, lalu dimana letak identitas negara kita sebagai Negara Agraris?

 

Pemerintah tidak optimal dalam memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki. Sehingga sebenarya rakyat yang merupakan pemilik dari bumi air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya, tidak memperoleh sedikitpun manfaatnya, bangsa asinglah, modala asinglah yang akhirnya memiliki manfaat dai kakayaan alama dan sumber sumber di dalamnya? begitulah sistem Neo-liberal bekerja, lalu apa istilahnya kalo tidak kita sebut sebagai penjajahan gaya baru?

 

Meminjam sedikit tulisan Kwik Kian Gie, bahwa setiap Country strategy Report, serta setiap keikutsertaan lembaga-lebaga donor dan lembaga-lembaga internasional dalam perumusan kebijakan pemerintah, kita tidak bisa melepaskan diri dari kenyataan bahwa yang memerintah Indonesia sudah bukan pemerintah Indonesia sendiri. Jelas sekali kita sudah lama merdeka secara politik, tetapi sudah kehilangan kedaulatan dan kemandirian dalam mengatur diri sendiri.

 

  1. Dampak Neoliberalisme Terhadap Pertanian

Dalam sistem opoerasinya, Neo-Liberalisme akan memghilangkan samakali peran negara. Dalam pemerintahan Suharto, arah kebijakan pembangunan atau yang lebih di kenal dengan developmentalis, sebanarnya sudah bercorak kapitalistik. Serta selama tigapuluh  tahun terakhir sudah ada gejala bagaimana sebenarnya pembangunan ekonomi kita memang diarahkan pada kebebasan pasar.

 

Penegnalan Revolusi Hijau oleh William S. Goud (USAID), dipahami sebagai usaha untuk memajukan sektor pertanian. Bahkan secara ekonemo, oleh para penganjur Revolusi Hijau, konsep ini adalah cara cepat membawa ke arah kesejahteraan rakyat.

 

Memang, Revolusi Hijau merupakan modernisasi tata cara pertanian. Pertanyaannya, apakah Revolusi Hijau ini benar-dapat mensejahterakan rakyat atau justru menyengsarakan rakyat?

 

Kemajuan dalam berproduksi tidaklah sama arti dengan kemajuan hal usaha penyejahteraan. Sebabnya adalah kenajuan berproduksi bukan didorong oleh semangat menyejahterakan diri tetapi oleh keterpaksaan ekonomi dan atsmosfir ketakutan. keberhasilan revolusi hijau karena desakan dari pemerintah berupa sangsi-sangsi sosial manakala menolak untuk menanam bibit unggul. (Francis Wahono-1999)

 

Kita dapat mengamati bahwa Moderinisasi pertanian ini sangat bergantung pada suplai bahan-bahan impor. Dan tentu saja pasar dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan internasional, dan ini sanggat berpengaruh pada produksi pertanian. Pasar yang di kendalikan oleh kekuatan ekonomi neoliberal berdampak sekali pada proses produksi pertanian, misalkan biaya produksi lebih besar dari harga jual produk pertanian. Karena dalam hukum pasar bebas negara dilarang untuk campur tangan maka petani-petani sering merugi dari tahun-ketahun. Akhirnya mereka merelakan lahannya sebagai pengganti hutang, atau pengganti modal.

 

Tidak tercukupinya kebutuhan lahan akibat belumpernah dijalankannya Reforma Agraia sejati turut mempengaruhi kegagalan revolusi hijau, dan program-program pertanian. Seharusnya memang disiapkan dari hulu ke hilir jika memang benar-benar memperbaiki nasib Petani. dari kebutuhan lahan, cara pertanian yang terkoneksi langsung dengan industri dan pasar yang memang dikendalikan untuk petani dan hasil-hasil pertaniannya.

 

Angin segar perbaikan kondisi nasib Petani ada pada saat pemerintahan gusdur berniat memabagikan lahan untuk petani. Disamping karena momentum politik reformasi menjadi semacam balas dendam rakyat terhadap ketimpangan pennguasaan agraria dan sumber-sumber didalamnya hingga terjadi pendudukan terhadap perkebunan-perkebunan yang ditelantarkan. Namun proses keabsahan hak secara hukum juga tidak diprioritaskan oleh pemerintah sehingga terjadi konflik besar dan panjang yang melibatkan masyrakat tani perusahaan pemegang HGU.

 

Jika melihat dengan apa yang dilakukan Pemerintah dengan undang-undang Penanaman Modal 2007 dan Pembaharuan Agraria Nasional akhir 2006, sebenarnya merupakan dua hal yang tidak bisa di pisahkan. Pembaruan agraria nasional tidak bisa dikategorikan angirn segar bagi petani karena, hal itu merupakan indikasi Liberalisasi aset-aset agraria untuk mendukung ekonomi Neo-Liberal. Bukan pembaharuan agraria sejati untuk kesejahteraan rakyat.

 

Kita juga harus menengok sedikit, penetapan Undang-undang Perkebunan, Undang undang Sumber Daya air dan beberapa aturan hukum yang lain. Dalam pelaksanaannnya justru banyak petani penggarap perkebunan terlantar yang merupakan jalan satu-satunya dalam bertahan dalam sulitnya perekonomian hari ini lebih banyak di pidanakan daripada mencabut HGU perusahaan yang menelantarkan perkebunannya. Begitu pula UU SDA yang lebih banyak memberikan fasilitas pada perusahaan-perusahaan air mineral seperti DANONE daripadda memfasilitasi atau memeperbaiki sistem irigasi  untuk petani.

 

Pembangunan Pertanian yang kuat akan menjadi mustahil jikla terjadi liberalisasi Agraria dan asset-aset didalamnya. sudah pasti Swasta dalam hal ini sebagai pemodal besar yang akan lebih terfasilitasi dengan hadirnya PPAN dan UUPM. Pengurangan peranan Birokrasi dalam perekonomian tentunya akan Menghapus atau menurunkan segala tarif impor. Menghapus segala hambatan investasi luar negeri, hal iktu berdampak terhadap harga jual barang produksi yang dihasilkana pertanian. sementara secara asset produkasi dan penguasaan pasar petani masih sangat lemah. apa akibatnya terhadap petani?

 

Dapat dikatakan tidak terjadi Hubungan Produksi yang baik antara negara dan petani. Petani sebagai kelompok masyarakat yang haris dilindungi kepentinganya dari kekuatan asing justru dijadikan tumbal. Setelah Revolusi Hijau lalu apa lagi?

 

Baru-baru ini, produk oragnik menjadi marak di wacanakan oleh berbagai kelompok-kelompok pertanian. Namun harus kita cermati dengan benar, bahwa pasar bebas juga berpengaruh terhadap pola baru yang dibangun pertanian. Perusahaan-perusahaan besar beramai-ramai untuk meproduksi bibit-bibit dan pupuk berlebel oraganik. Akibatnya Petani juga tetap menjadi konsumen yang seharusnya produsen.

 

Sebanarnya keterlibatan pakar-pakar pertnaian kita sangat penting dalam hal ini. Namun  sayang sekali jika kita mendapati di depan Institut Pertanian Bogor terdapat Pasar Modern yang menjual berbagai produk pertanian impor. Sungguh itu ibarat diam saat diludahi di halaman rumah sendiri.

 

Jika diruntut dari zaman kolonial yang menformat liberalisasi Agraria sebagi bentuk penghancuran pada kekuasaan feudal di indonesia. Maka kebijakan yang diambil pemerintah hari ini dengan menganut rezim ekonomi neolib maka haal itu dapat diistilahkan Penyempurnaan Liberalisasi Agraria dan Kematian Sektor Pertanian.

 

kebijakan pemerintah dengan menghadirkan aturan-aturan yang pro pasar bebas termasuk UUPM adalah upaya penjuaalan aset negara secara murah. meminjam sedikit istilah Iwan Nurdin dalam tulisannya gelap mata mengundang Investasi  you mesti datang sebab kami punya paket pelayanan paling bagus. You boleh lakukan apa saja selama beroperasi disini selama tidak menggelapkan pajak. You punya untung boleh bawa pulang, kalau You nggak betah boleh pergi atau jual sesuka hati”.  

 

 

  1. Jalan Menuju?

Dengan Keterbatasan Kepemilikan lahan, tidak tersedianya Ahli pertanian dalam perencanaan Produksi dan Pasar yang dikuasai Sektor swasta, mimpi akan kesejahteraan Petani tidak akan terwujud.

 

Jalan pertama yang dilakuakan memang harus Pembaharuan Agraria yang sifatnya korporasi yaitu diberikan pada serikat-serikat petani yang tidak memiliki atau kekurangan lahan produksi sekaligus penguatan basik dasar ekonominya dengan membentuk unit-unit usaha petani. Kanapa harus demikian, pembagian lahan secara individu hanya akan membercepat liberalisasi aset-aset agraria. Pemerintah dalam Rezim ekonomi Neo-Liberal bisa saja seolah olah melaksanakan Reforma Agraria namun  sebenarnya karena sistem ekonomi tidak memihak pada petani maka dengan segara akan dijual kembali dengan demikian kaum modal bisa membeli dan syah secara hukum.

 

Jalan Kedua memperbanyak ahli-ahli pertanian yang berwatak kerkyatan yaitu berpikir dengan cermat menyelesaikan cara bertani yang evolusioner, dan tidak mengembangkan produk-produk impor seperti durian montong dan bibit-bibit impor lain dan juga memikirkan relasi produksi dengan pertanian. Misalkan bagaimana memperbaharui alat-alat pertanian sehingga pada saatnya nanti petani tidak hanya menjaul gab ah tapi beras yang sudah dalam kemasan, atau tidak hanya menjual jeruk tetapi sirup higienis dalam kemasan.

 

Jalan Ketiga setelah dua jalan sebelumnya terpenuhi, negara dalam hal ini harus melindungi produk-produk pertnian, dan memberikan fasilitas dan kebijakan pendukungnya sehingga dengan sendirinya Petani dapat menguasai Pasar sehingga tidak diombang-ambingkan oleh Murahnya harga jual harga pertanian.

Happy Kurniawan

1 thoughts on “Neoliberalisme: Penyempurnaan Liberalisasi Agraria dan Kematian Sektor Pertanian

Tinggalkan komentar